Nalar VS Doktrin

Bagi saya, pertentangan nalar vs doktrin dimulai ketika terjadinya peristiwa 9/11. Pada saat itu semua stasiun televisi memperlihatkan video dimana pesawat menabrak gedung WTC disusul ledakan yang meruntuhkan gedung tersebut. Video tersebut dilanjutkan dengan keterangan dari reporter bahwa terjadi pembajakan pesawat oleh teroris blablabla.

Namun di sisi lain, khususnya di dunia maya, banyak analisa-analisa yang kontra dengan pemberitaan di media mainstream. Yang intinya adalah menganggap mustahil gedung WTC bisa hancur akibat ditabrak pesawat. Saya pribadi belum memutuskan pilihan saya, antara setuju bahwa gedung tersebut hancur ditabrak pesawat atau hancur karena di bom.

Sampai suatu saat saya melihat video bahwa terdapat sebuah gedung lagi di sebelah gedung WTC yang juga ambruk tanpa diberitakan media mainstream, dan tanpa ditabrak pesawat. Semenjak melihat video ini maka saya memilih tidak percaya jikalau gedung WTC hancur karena ditabrak pesawat. Dan semenjak kejadian ini saya percaya bahwa terdapat konspirasi di dunia ini, khususnya di Amerika.

Waktu pun bergulir, dan topik 9/11 pun sudah mulai ditinggalkan. Teori konspirasi pun sudah kurang menarik bagi saya. Dan saya kembali ke kehidupan nyata.

Akhir-akhir ini, bertepatan dengan perhelatan pemilihan presiden di Indonesia, saya kembali tertarik pada konspirasi, dan ini terjadi di negara kita sendiri, Indonesia.

Dimulai dari hilangnya akun twitter Dahlan Iskan yang memiliki 2jt followers, satu hari setelah mengumumkan keberpihakannya terhadap salah satu paslon.

Disusul dengan dibajaknya akun Said didu sehingga berisi postingan fitnah terhadap Ustadz Abdul Somad, tepat setelah UAS mengumumkan keberpihakannya terhadap salah satu paslon.

Yang paling terbaru adalah hilangnya akun instagram Ustadz Abdul Somad yang memiliki 9jt followers dan sudah centang biru.

Ada beberapa kasus penutupan akun lagi yang bisa Anda cari sendiri kebenaran dan beritanya di google.

Selain penutupan akun-akun medsos, nalar saya juga diuji dengan kasus video pengeroyokan seorang warga sipil oleh beberapa anggota Polisi Brimob di Kampung Bali, Jakarta.

Awalnya video tersebut di klaim oleh sebagian pihak bahwa lokasinya di Thailand. Kemudian setelah banyaknya wartawan yang mengecek langsung ke lokasi dan terbukti terjadi di Jakarta, maka semua pihak termasuk kepolisian merilis berita bahwa kejadian tersebut benar adanya.

Pengujian terhadap nalar saya terjadi setelah keluar press release dari Kepolisian yang menampilkan seorang korban pengeroyokan tersebut bernama Andri Bibir dengan 2 perban di mukanya dan memberi kesaksian bahwa dia selamat dan juga berterima kasih kepada polisi karena telah menyelamatkannya.

Nalar saya otomatis menolak keterangan tersebut. Bagaimana mungkin seorang warga sipil tanpa pelindung dan tanpa senjata yang dihantam secara bertubi-tubi oleh Brimob bisa muncul H+1 dengan berdiri tegak dan tanpa babak belur di wajahnya dan tanpa terlihat efek trauma mengucapkan kata “terima kasih” kepada polisi karena telah menyelamatkannya.

Saya kemudian bertanya via WA kepada 2 orang dokter, satu orang temen seangkatan dan satu lagi kakak kelas saya ketika SMA dulu, untuk menguji apakah nalar saya masih sehat atau tidak. Saya mengirim video pengeroyokan di Kampung Bali dan mengirim foto Andri bibir pada saat press release kepada 2 orang dokter tersebut. Saya bertanya, “apakah logis kalau dia (Andri Bibir) adalah korban dari pengeroyokan yang terlihat di video tersebut?” Satu dokter menjawab “Nggak logis”, satu dokter lagi menjawab “Sangat tidak logis”. Alhamdulillah.. ucap dalam hati saya, berarti nalar saya masih sehat.

Setelah kejadian ini, saya kembali mempercayai bahwa konspirasi itu benar adanya, dan sudah terjadi di Indonesia.

Lalu apa yang sebaiknya kita perbuat atas pengetahuan tentang konspirasi ini? Saya pribadi memilih langkah ‘back to basic’, kembali ke lingkaran pengaruhnya Stephen Covey. Sudah terlalu banyak waktu dan energi terbuang memikirkan fenomena konspirasi di negeri sendiri tanpa bisa mengubahnya. Dan kembali lagi, kita hanya dimintai pertanggungan jawab terhadap apa yang kita pimpin, yakni diri sendiri, keluarga, dan tim kerja atau tim bisnis. Jadi untuk sementara waktu, masa bodohlah terhadap segala konspirasi.

Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa jangan sampai Nalar kita terkalahkan oleh Doktrin. Apalagi di jaman sekarang, dimana Pendoktrin itu jumlahnya mayoritas (media mainstream), kalau tidak hati-hati nalar kita pun akan terasuki oleh nafsu doktrinisasi mereka.

Nalar vs Doktrin, pilihlah Nalar.

Tinggalkan komentar